Kata
guru adalah bahasa budaya kearifan lokal pada masa silam, dan hasil karya
sebutan para Ulama’ kata guru mengandung dua nama yang di jadikan satu, yaitu
“Gugu dan Tiru” artinya guru itu mempunyai Uswah atau tauladan yang bisa di
gugu dan biso di tiru. Arti yang lain guru itu bisa di jadikan Qiblat tentang
Akhlaq, baik ucapan maupun perbuatan. Karena guru itu bukan hanya sekedar
mengajari teori atau ngasih tahu informasi, tapi lebih dari itu, bahkan seorang
guru itu di tuntut bisa mentransfer adabiyah, akhlaq, kejujuran, dan sifat
sosial yang mengarah kebaikan.
Sebenernya
sebutan orang di sebut guru itu sangat dahsyat sekali pengaruhnya di depan
masyarakat, biasanya orang yang di sebut guru adalah seorang guru agama, atau
mengaji di kampung, atau di desa-desa, maka bila ada masyarakat setempat
memberi gelar guru, itulah guru sebenarnya. Karena masyarakat sudah percaya
bener dengan keahlian dalam urusan social keagama’an. Sesekali guru itu berbuat
jelek, mencuri atau melakukan perbuatan kesalahan di masyarakat, maka gelar guru
itu akan di cabut kembali, dan masyarakat sudah tak lagi menyebut guru lagi.
Sebutan
guru ibarat pakaian yang di berikan seseorang tanpa ada SK atau sertfikat, maka
sesekali guru itu berbuat khiyanat atau menipu, pasti dan pasti masyarakat akan
melucuti gelar atau pakaian itu, dan ini
sudah menjadi hal yang wajar.
Lantas
bagaimana dengan sebutan guru hasil karya akademisi atau perguruan tinggi!
Ini
juga persolan lain yang harus kita kaji, karena guru itu gelarnya di hati, bukan
di lahiriyah.
Coba
saja kita renungkan bila sebutan guru hasil jebolan Perguruan tinggi, dan
mempunyai gelar sarjana, magister atau doctor, yang kebetulan mengajar di SMP,
SMA, atau jadi dosen, sesekali dia berbuat curang, khiyanat, menipu, memperkosa
muridnya, meskipun sudah di pecat dari lembaga-nya, gelarnya sarjana-nya tetap
utuh, karena gelarnya waktu dulu belajar adalah membeli gelar di perguruan
tinggi, artinya gelarnya ada SK, sertifikat, piagam, atau ijazahnya.
Antara ustadz dan guru..
Sebenernya
para ulama’ menegtahui betul kata ustadz, karena sebutaan ustadz itu gelar yang
lumayan tinggi, maka Ulama’ pesantren menerjemahkan dengan bahasa budaya,
karena gelar ustadz itu mempunyai kaliber sama dengan mursyid, Syaikh, dan
gelar ustadz itu ahli dalam ilmu tafsir, fiqih, dan hadist, dan lebih dari itu,
bahkan bisa di jadikan mufti.
Sebagian
para Ulama’ terlalu tinggi bila orang di sebut ustadz, maka ulama’ Indonesia
mengambil jalan dengan sebutan kiyai atu guru saja.
Pernah
dengar ulama’ sufi pengarang kitab “Al-Hikam” yaitu “Ibnu Atta’illah
As-Sakandari”, itu gelarnya ada sepuluh lebih, di antaranya murobbi,
madzhabatain, dan Al-Ustadz. Itupun ibnu atta’illah gak mau di sebut ustad,
kita baru bisa hafal hadist empat saja, sudah bangga di sebut ustad, murobbi, malah pingin di sebut murobbi, atau ustadz, ini
kan suatu pelecehan terhadap gelar ustadz.
Ada
lagi sorang Ulama’ besar yaitu imam Muhammad bin idris, bin Syafi’, atau
sebutan imam Syafi’I, dalam buku memorinya (Diwanu-Syafi’i) mengatakan; “Saya
mencintai orang sholih, tetapi saya tidak termasuk golongan mereka, siapa tahu
dengan mencintai orang-orang sholih, saya bisa mendapatkan syafa’at dari
orang-orang sholih”. Bayangkan saja imam
sayfi’I yang di juluki “Sultonul Fiqih” di zamannya, mengaku bukan orang
sholih, apa lagi ustadz. Bagaimana dengan kita? ………. Di jawab dw yo ……………….
Nah
akhir-akhir sekarang ini sebutan ustadz sudah di obral kemana-kemana, baru
lulus perguruan tinggi jurusan PAI, baru bisa membaca al-quran sedikit, dan itupun
baru bisa membaca hadist terjemahan saja, sudah di sebut ustadz, inikan lucu
bin aja’ib. hehehehe.
Kadang
saya sendiri berfikir ini yang salah
orang yang menyebut ustadz, atau orang yang di sebut? …….. atau emang
dua-duanya otaknya podo Krowak kabeh.
Sehingga tidak bisa membedakan mana ustadz dan mana yang tidak. Hehehehe
********************************.
Jogjakarta
/ sabtu / 09 / April / 2016
Lek
son wong ndeso
-------------------------------------------------------------------------------------------------
0 Response to "PENGERTIAN ARTI GURU dan SOSOK SEORANG GURU"
Post a Comment